Mading

Generasi yang Diinginkan

Karya Zahra Tu Shita XA DKV

 

“Rin, kamu menyiapkan apa untuk hari kemerdakaan nanti?” Deva, teman sekolah Arin, bertanya sambil mengambi posisi duduk di samping Arin yang tengah menggambar.

Arin meletakkan pensilnya di meja. Menatap suasana kantin yang tak terlalu sesak. “Hm, tidak ada. Aku tak terpikir sesuatu.” Arin menjawab singkat.

Deva menggelengkan kepalanya. “Kamu ini. Apakah tidak ada acara spesial tiap hari kemerdekaan? Bukankah kakekmu dulunya pejuang?” Deva dengan sabar bertanya untuk membawa Arin lebih dalam pada topiknya.

Arin berpikir sejenak. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya, hanya saja ia mencari kalimat yang pas. “Ada. Keluargaku selalu merayakannya dengan berkunjung ke makam kakek, juga ke makam pahlawan lain.” Arin menjawab sambil masih berpikir.

Tak ada sahutan dari orang di sebelahnya. Membuat Arin menolah. Deva memandangnya, memasang wajah heran.

“Lalu, hal apa yang kamu lakukan untuk merayakan 17 agustus?” Arin bertanya balik. Ia penasaran apa yang dilakukan temannya itu. Soalnya, Deva sering terlihat sibuk akhir-akhir ini.

Deva menyunggingkan senyum cerah, “aku menjadi panitia kegiatan untuk hari kemerdekaan nanti. Organisasi yang ku ikuti yang menanggulanginya,” Deva lanjut bercerit, betapa antusiasnya ia.

“Hebat. Aku jadi iri. Aku tak melakukan apapun untuk mempersiapkan kemerdekaan ini.” Arin menghela nafas. Ia merasa gagal tak melakukan apapun.

Deva melihat Arin di depannya sembari berpikir. Deva harus membantu. Ia menelisik, memicingkan matanya. Entah apa yang otaknya ributkan. Tetapi, saat mata itu melihat kertas gambar Arin di atas meja. Lampu terang muncul seketika.

“Aku tahu,” Deva bergumam. Perlahan tangannya mengambil sketsa hitam-putih menyerupai rumah kubuk di tengah hutan yang lebat milik Arin itu. Saat itu juga Deva membuka suaranya.

“Ini dia kuncinya.” Deva berseru. Dibalas raut bingung Arin yang kentara.

“Lomba poster.”

Pupil mata Arin membesar. Menandakan ia tertarik. Arin menatap Deva, diam-diam mengulas senyum kecil di kedua sudut bibirnya. Tetapi, sepersekian detik berikutnya senyum itu luntur. Tak lagi membuat wajahnya bersinar. Melainkan murung yang ada.

“Sebelum gambarku selesai, ayah pasti akan merusaknya.” Inilah alasan kenapa senyuman Arin luntur seketika. Ia baru ingat, ada masalah besar jika dia setuju. Deva juga baru teringat akan hal itu. Membuat ia berpikir ribuan kali lebih efektif dari ide semula. Jarinya diketuk-ketuk ke meja. Membuat ritme bergantian.

“Hm… Oh! Digital. Itu dia. Kamu bisa menggambarnya tanpa kertas. Dan persentase ketahuan oleh ayahmu rendah. Bagaimana?” Deva Si Juara Kelas telah mengusulkan. Arin seketika itu juga terdiam. Perlahan, percikan api kecil bergemericik di dadanya. Ia tahu, suatu saat percikan api itu akan menciptakan api besar. Bercahaya terang.

Kala itu juga, ia menganggukkan kepala. Langkah awal membuat sumbu api. Bukan hanya satu sumber, tetapi, dua sumber yang akan menyala sekaligus.

 

***

 

Kepadatan kota hingga keasrian desa, hari ini, pada tempo waktu bersamaan orang-orang membicarakan satu topik yang sama. Dengan hiasan merah-putih di kepala mereka. Plus, setelan pakaian yang senada. Peringatan apa lagi yang menggambar itu? Tentulah, pada hari ini kemerdekaan yang berhasil diraih. Tepatnya 78 tahun lalu, bendera merah putih pertama dinaikkan. Hormat pertama dicurahkan. Lagu kebangsaan pertama kali dialunkan indah menggunakan biola. Liriknya yang menggetarkan hati. Tepat hari ini, 17 agustus 2023 adalah perayaan kemerdekaan RI yang ke-78.

Upacara dilaksanakan dengan hikmat. Pejabat hingga pelajar ikut menyertakannya. Dilanjut pada siangnya, warga-warga, anak kecil seusia satu dekade merapat di satu titik. Melakukan sebuah kompetisi. Bukan untuk tujuan tertentu, melainkan sebagai hiburan yang hanya dilaksakanan satu tahun sekali.

Semuanya dijalani penuh tawa.

Terkecuali gadis ini, yang terduduk sendiri di meja belajarnya. Berkutat dengan pensil dan sketsa. Membentuk lukisan hitam-putih yang tercipta dari imajinasi tak terhingga. Membentuk sebuah konsep yang telah dipikirkan matang sebelumnya.

Guratan senyum terukir di bibirnya, saat melihat hasil akhir karya miliknya. Meski pengerjaannya terbilang singkat, hasilnya sudah lebih dari cukup dan enak dilihat.

Gadis itu hendak mengambil sesuatu dari dalam laci meja belajarnya. Pensil warna. Namun, dobrakan pintu mengangetkannya. Hingga hentakan kaki penuh amarah, membuat gadis itu berbalik.

Srekk. Gadis itu menahan nafasnya. Gerakan tiba-tiba itu mengangetkannya. Belum menyadari apa yang terjadi, suara robekan kertas beberapa kali terdengar.

Bibir bawahnya bergetar, tak kuat melihat apa yang terjadi di belakangnya. Dia baru sadar, dia telah membuat kesalahan besar.

“Arin! Sudah berapa kali Ayah bilang? Jangan menghabiskan waktumu untuk menggambar!” Seruan tegas berasal dari belakang tubuhnya. Suara berat itu seketika membuatnya merinding.

Arin tak bisa menahan gejolak di dalam dirinya. Lebih parahnya, saat kertas berhamburan dari atas kepalanya, turun ke berbagai tempat. Arin menatap nanar hamburan kertas hitam-putih berisi sketsanya itu. Ia tak sanggup menghitung, sudah berapa banyak hasil karyanya yang terbuang sia-sia.

“Ingat! Kakekmu dulunya adalah pejuang yang meraih kemerdakaan. Tetapi, kamu? Apa yang kamu lakukan, hah?” Ayah membentak Arin setelah puas merobek-robek kertas gambar Arin hingga berhamburan ke sekitaran kamar.

Arin menunduk, tak sanggup mengatakan apapun. Ia menatap robekan kertas dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menangis seperti saat pertama kali gambarnya dirobek oleh Ayah. Tapi, rasa sakitnya masih sama seperti pertama kali. Penuh sesak.

Ayah keluar dari kamar Arin dengan membanting pintu. Meninggalkan Arin sendiri di kamarnya seperti sedia kala. Namun, dengan tambahan rasa yang menghilangkan lengkung senyumnya.

Arin coba menanangkan diri. Ia membereskan robekan kertas. Terpaksa membuangnya ke bak sampah. Karna ia pernah mencoba memperbaiki karya pertamanya yang dirobek ayah dulu. Tetapi, hasilnya sia-sia saja.

Selesai membereskan kamarnya agar kembali rapi. Arin berjalan keluar kamarnya.

Ia menatap anak-anak kecil sedang memainkan permainan tradisional sebagai ajang perlombaan 17-an. Balap bakiak sebutannya. Arin tentu pernah memainkannya waktu kecil. Ia dan temannya menang juara 2 kala itu.

Tapi itu dulu. Saat kakek Arin yang adalah pejuang kemerdakaan masih ada. Beliau bahkan saat itu menjadi salah satu panitia kegiatan 17 agustus dan yang membacakan pidato saat pembukaan acara.

Arin dan kakeknya bisa dikatakan akrab. Kakek sering berbagi cerita kepada Arin kecil. Mulai dari dongeng, cerita rakyat, hingga pengalaman hidupnya. Cerita kakek selalu diselingi dengan candaan jenaka. Membuat Arin kecil terhibur dan menyukai cerita kakek.

Arin sekarang telah sampai di teras depan rumahnya. Duduk di sana. Menatap kebun kecil di halaman rumah yang ditanami tumbuh-tumbuhan indah. Hasil kerja kerasnya dan bunda saat ia kecil dulu.

Laron-laron ayal beterbatangan memenuhi kepalanya. Masing-masing membawa kisah berbeda di kedua sayap mereka. Berkumpul. Berputar-putar. Menjadikan satu celah pada pertengahan jalurnya. Memberi artian, ada kekosongan di dalam jiwa gadis itu. Kadang kala terdistraksi oleh kisah masa lampau yang terus teringat di pikirannya.

Namun, mereka hanyalah objek hayal. Tak bisa terulang kembali.

Memikirkannya membuat gadis itu teringat kejadian beberapa tahun lalu. Yang terus berulang dari ia kecil hingga remaja. Suatu hal yang ‘wajib’ dilakukan saat hari kemerdakaan ini terjadi.

Bercerita bersama kakek.

Kakek memang suka bercerita. Tapi, dikhususkan saat tanggal 17 agustus tiap tahunnya. Cerita kakek menjadi spesial. Karena kakeknya adalah mantan pejuang kemerdekaan yang menyaksikan langsung bagaimana pedihnya masa penjajahan kala itu. Beliau sering kali menghabiskan hari kemerdekaan bersama Arin untuk bercerita. Bagaimana perjuangan beliau dikala muda.

Arin, nama gadis itu. Setidaknya itulah nama yang biasa ia pakai untuk melengkapi tanda tangan di setiap karyanya. Sebelum ayah datang dan merusak. Ia terduduk. Termenung. Hingga tak sadar ada seseorang yang berjalan kearahnya dari belakang.

“Apa yang dipikirkan anak bunda ini sehingga duduk di teras sendirian?”

Arin seketika tersadar. Ia menoleh, mendapati bunda berdiri di ambang pintu dengan dahi mengkerut.

Arin menggeleng, “tidak ada. Hanya, Arin jadi rindu kakek. Biasanya, dihari kemerdekaan ini kakek selalu bercerita tentang perjuangannya dulu.” Arin menjawab. Menghela nafasnya. Menatap debu yang tertinggal di telapak kaki.

Bunda menatap Arin prihatin. Kalau diingat, Arin memang selalu antusias mendengar cerita-cerita dari mendiang kakeknya. Tetapi, sejak kakek tiada. Tak ada lagi yang bisa memberikan Arin kisah menariknya. Meski terhitung sudah 3 tahun sejak kepergian kakek. Arin selalu seperti ini tiap tanggal 17 di bulan agustus. Duduk diam di depan teras, tempat yang dulunya suka dipakai kakek untuk bercerita.

“Padahal… Kakek belum menyelesaikan ceritanya,” gumam Arin.

Helaan nafas keluar dari mulut Bunda. Perlahan beliau mengambil posisi duduk di samping Arin. Memegang pundaknya coba menenangkannya. Arin memang tak menangis. Tapi, Bunda tau Arin amat sedih.

“Rin, cerita kakekmu memang belum sepenuhnya selesai. Tapi semesta berkata lain. Beliau tidak bisa melanjutkan kisahnya. Sekuat apapun. Sehebat apapun mencoba.” Bunda berucap dengan suaranya yang lembut. Arin menatap Bunda, menunggu kalimat selanjutnya.

“Namun, apa kamu tahu? Semesta memotong cerita kakek, karena Ia tau, ada penerus yang tak kalah hebat. Yaitu kamu, Arin. Kamu yang bisa meneruskan cerita kakek dan mengembangkannya ke masa sekarang.” Bunda mengatakan dengan sungguh-sungguh tiap bait kalimatnya.

Pupil mata Arin membesar. Tetapi kemudian ia menggeleng.

“Tidak, Bun. Apa yang bisa Arin lakukan? Arin hanya bisa menggambar, menggambar, dan menggambar saja.” Arin dengan berat hati mengatakan itu.

Bunda lantas saja menggeleng. Mengganggap pendapat Arin salah besar.

“Tidak, justru kamu harus bisa mengambil celah dari setiap bakat yang ada. Jadilah sukses. Berjuang demi nusa bangsa dengan caramu sendiri.” Bunda berucap tegas. Tiap katanya diiringi keyakinan. Bukan untuk menekan, melainkan mendorong maju.

“Tapi… Ayah bahkan membenci itu. Ayah tak suka melihat Arin menggambar.” Arin mengatakan apa yang barusan terjadi.

Bunda menghela nafas. Beliau tahu betul, ayah Arin sangatlah tegas. Atas didikan kakek juga, ayah jadi selalu menginginkan anaknya jadi remaja yang pekerja keras. Ayah ingin Arin bermimpi setinggi langit, kemudian bekerja untuk mewujudkannya.

Tetapi, saat menyadari anaknya lebih suka menggambar. Ayah seakan mendapat tamparan keras. Tak akan membiarkan ini terjadi.

Sudah ya, Bunda masuk dulu.” Bunda izin terlebih dahulu sebelum berjalan masuk.

Kini, Arin kembali sendiri. Dengan pikiran yang berkecamuk hebat. Semua pemikirannya bercampur menjadi satu. Menggumpal. Dengan porsi tak beraturan.

Hingga ia memutuskan kembali ke kamar. Ditatapnya langit yang telah berubah warna menjadi jingga. Mengharuskannya untuk segera masuk.

 

***

 

Deadline-nya besok. Dua hari setelah hari kemerdekaan. Apa postermu sudah siap?”

Arin meneguk ludah. Ia kehilangan arah. Bola matanya bergerak-gerak tak menentu. Jemarinya lincah menggulir sebuah laman berisi referensi poster. Ia benar-benar buntu, tak tahu hal ini akan terjadi padanya.

“Rin? Kamu masih di sana?” Suara Deva dari balik telepon menggema melalui telinga. Perlu beberapa saat hingga otak merespon akan suara itu dengan nada bergetar.

“Ah, iya aku di sini. Deva, kita sudahi dulu ya? Aku masih ingin meneruskan pengerjaan posterku. Dah.” Arin dengan cepat menutup telepon dari Deva. Gadis di seberang sana terdengar masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi, langsung terpotong oleh telepon yang dimatikan.

Arin kembali menghela nafas. Nafasnya tak lagi teratur seiring berjalannya waktu.

Tengah malam. Di mana semua orang sudah terlelap. Namun, Arin masih terpaku di depan layar laptopnya yang menyala. Dengan ponsel digenggaman tangan, tengah mencari referensi untuk posternya. Ia kira ini akan mudah. Ternyata, perlu tenaga lebih. Posternya memang sudah 80 persen jadi. Tapi, di sinilah masalahnya. Arin kehilangan 20 persen terakhir yang dapat membuat posternya lebih hidup. Ia perlu menambah detail dan keterangan lagi sebelum melakukan tahap akhir.

Sepertinya Arin menyerah. Ia sadar. Ia perlu istirahat. Karennya Arin membenam-kan kepala di lipatan tangan. Mengatur pernapasannya agar kembali stabil. Meng-gumamkan puluhan kata “tak apa” pada hatinya. Hingga pada tahap, pikirannya bisa kembali jernih, mengalir bagai air bah. Menghanyutkan segala keluh kesah.

Di menit kesekian. Arin mengangkat kembali kepalanya. Matanya sudah bisa fokus ke depan. Memandang tajam layar laptop yang menyala menampilkan posternya yang baru selesai beberapa.

Arin kembali bermonolog. Menggumamkan ribuan kata semangat. Senyum tipis terukir di sudut bibir. Menandakan ia siap kembali bekerja.

“Arin, kau pasti bisa. Demi semuanya. Inilah … Caraku … Melakukannya.”

Kinerja otak bekerja stabil. Entah bagian kiri maupun kanan, semuanya bekerja beriringan saling melengkapi. Dirinya mulai terhanyut, menikmati apa yang ia kerjakan. Tak lagi tertekan. Inilah kunci segalanya. Apapun yang menjadi tanggung jawab. Lakukanlah secara sukarela, dengan senang hati. Maka pekerjaan seberat apapun mestilah berakhir dengan memuaskan tanpa beban.

Arin menerapkannya. Desain poster dia kerjakan dengan senang hati. Dengan seukir senyum. Menanti-nanti hasilnya, apakah akan memuaskan dan semenyenangkan proses yang ia lalui? Atau malah berakhir terbuang, terlupakan.

“Huh… Ku rasa aku berhasil melakukannya.”

Setelah ‘berjuang’ keras. Arin bisa mengistirahatkan diri. Kembali membenamkan wajah pada lipatan tangan. Tapi, kini dengan perasaan senang. Dalam hati ia diam-diam mengirimkan doa serta terima kasih yang mendalam kepada sosok kakek yang banyak menginspirasinya. Ia belajar bagaimana kegigihan beliau. Selama terdiam, Arin sebenarnya memikirkan apa yang akan kakek katakan saat ia tahu cucunya, Arin, tak bisa melakukan apapun untuk membalas jasanya. Dari sanalah, Arin bertekad untuk membanggakan beliau. Meski, dengan cara yang sederhana, tak ada istimewanya sama sekali. Tapi, itulah cara Arin.

Sedari tadi, secara diam-diam. Sebenarnya ada yang memerhatikan Arin dari daun pintu yang terbuka sedikit. Mengintip Arin tanpa mengatahkan sepatah kata. Ia ada sedari awal. Memperhatikan bagaimana Arin menyerah, sebelum kembali bangkit bahkan lebih bersemangat dari sebelumnya. Lengkungan tercipta di satu sudut bibir. Menciptakan sebuah senyum miring.

 

***

Di siang hari yang nampak mendung. Arin berjalan masuk ke dalam rumahnya perlahan. Rasa gugup menggetarkannya. Membuat tangannya dingin, tetapi berkeringat. Arin memeluk erat sesuatu yang sepertinya ia sembunyikan dari seseorang.

Mendapati Ibu dan Ayahnya kini tengah duduk di meja makan menyantap makan siang, Arin langsung membelokkan langkahnya tak jadi berjalan ke arah ruang makan.

Namun, ia sudah ketahuan. Ayah menatapnya penuh selidik. Mengamati setelan Arin yang nampak rapi.

“Kamu pulang darimana?” Ayah bertanya. Seketika membekukan Arin.

“Aku barusan bertemu Deva, Yah.” Arin menjawab sekenanya. Sebisa mungkin agar ia tak berbohong kepada Ayah.

“Dengan pakaian serapi itu?” Ayah mengangkat sebelah alisnya. Menyelidik.

“I-iya, aku ke kamar dulu.” Arin hendak bergegas pergi dari tempatnya. Ia harus lekas menyembunyikan apa yang ia pegang sekarang. Karena kalau tidak, kemungkinan terbesarnya adalah Ayah akan marah besar. Bahkan lebih marah dari sebelumnya. Merobek gambarnya menjadi sobekan-sobekan kecil. Kemudian membakarnya di dalam nyala api. Dilanjut menyita semua alat gambar Arin.

“Tunggu di situ, jangan bergerak.” Arin kembali meneguk ludah. Mematung sesuai perintah sang Ayah. Perlahan, Ayah bangkit dari kursinya kemudian menghampiri Arin yang menatapnya dengan sorot takut-takut.

Tatapan Ayah kini tak lagi mengarah kepada Arin, melainkan sesuatu yang ia sembunyikan. Dalam sekali gerakan, Ayah berhasil merebut sesuatu itu dari tangan Arin. Membuat Arin refleks membelalakkan mata, coba mengambil kembali namun gagal. Ayah memasang wajah serius. Mata hitamnya menyala tak bersahabat. Arin tak lagi mampu menebak emosi apa yang terdapat di balik mata hitam itu.

“Sertifikat apa ini?” Ayah bertanya dengan intonasi terlampau datar. Lebih ke mengancam Arin agar segera menjawabnya.

“Itu …” Arin menjawab tergagap-gagap. Ia kehilangan kata-kata yang telah ia susun sedari ia mendapatkan serfikat yang sekarang dipegang Ayah. Hal pertama yang ia pikirkan bukanlah rasa bangga, melainkan kemarahan dan pertentangan.

“Jawab, jangan jadi anak penakut. Ayah tidak suka itu.” Ayah menatap Arin tajam. Arin terlampau takut. Tapi, ia tak bisa membantah.

Arin meraup udara banyak-banyak. Kemudian menghembuskannya perlahan. “Ini, aku dapat pagi ini. Maaf, aku ikut lomba poster tanpa seizin Ayah.” Arin menjawab pelan. Seiring kata yang diucapkan, intonasi suaranya kian merendah. Matanya menjadi kabur, seperti hendak mengeluarkan bulir-bulir air mata. Memang, yang tertera di kertas itu adalah namanya, serta keterangan juara 2 di atas namanya. Tak menutup kemungkinan Ayah akan memarahinya. Mungkin upaya kerja kerasnya selama ini telah berhasil ia raih. Tapi, masalah yang sebenarnya akan ia hadapi sekarang.

Kaki yang ia gunakan untuk berpijak jadi melemah. Tak sekuat tadi. Matanya yang berangsur-angsur semakin mengabur tak memungkinkan melihat sekitar. Membuat, Arin tak melihat lengkungan senyum itu terbit dan kian melebar.

“Rin, kamu berhasil juara?” Ayah bertanya. Nada bicaranya tak setegas tadi.

Perlahan Arin menganggukkan kepala. “Maaf, Yah. Eh, maksudnya, iya.” Arin tak kuasa menahan rasa takut yang kian menjadi. Jika ia harus memasrahkan tubuhnya dipenuhi lebam akibat pukulan. Ia akan terima. Tapi, jangan rusak kebahagiaannya setelah ini. Dan, biarlah Arin berkarya dengan caranya sendiri, demi bangsa ini.

Ayah menghela nafas. Menatap kosong pada telapak kaki dan lantai yang berdebu. Lengang sejenak. Sampai, Ayah mengangkat kembali kepalanya menatap Arin.

“Ayah tidak tahu kalau kamu bekerja sekeras itu untuk mendapatkan ini. Tapi, Ayah bangga. Karena kamu telah berhasil mengatakan secara tegas kalau kamu bisa mewujud-kan apa yang kamu tuju. Ayah amat terharu memiliki anak seperti kamu.” Ayah berkata, suaranya kini lebih ramah dari sebelumnya. Tangan Ayah menepuk pundak Arin satu kali. Mencoba menguatkannya.

Arin menatap Ayah dengan mata melotot tak percaya. Tetapi, melihat senyum Ayah yang amat tulus padanya. Membuat Arin yakin, dia tidak sedang bermimpi.

“Tapi, bagaimana Ayah tahu?” Arin bertanya penasaran.

“Ayah memerhatikan saat kamu berusaha mengerjakan postermu itu. Secara nyata, Ayah sudah tahu sejak awal bahwa kamu mengikuti lomba poster. Ayah marah, tapi melihat kegigihanmu. Ayah jadi penasaran, apa kamu berhasil mencapai tujuanmu?” Ayah menceritakan dari sudut pandangnya. Membuat semuanya kini terasa jelas.

“Iya, bahkan ini jauh lebih dari ekspetasiku.” Arin membalas. Perlahan-lahan mulai dapat memproses semuanya.

Ayah tertawa pelan. Ia tahu betul apa yang ku maksud.

“Baiklah. Sekarang, Ibu, kapan kita bisa berkunjung ke makam kakek? Ayah ingin menceritakan banyak hal kepada kakek soal cucu terhebatnya ini.” Ayah bertanya kepada ibu yang sedari tadi diam memerhatikan. Arin yakin, sebelumnya Ayah sudah menceritakan ini pada Ibu. Jadi Ibu terlihat tak begitu terkejut.

Arin diam memerhatikan percakapan ibu dan ayah. Dia tak pernah menyangka jika tahun ini adalah tahun di mana hari kemerdekaan berjalan lebih baik dari tahun sebelumnya sejak kakek tiada. Arin tak lagi mendapatkan hari yang membosankan, karena ia akan selalu ikut berpartisipasi dalam upaya menyemarakkan kemerdekaan hingga kepada remaja seusianya.

Mungkinkah, Arin menjalankan misi selanjutnya. Karena selama ia berpijak di tanah air. Maka seharusnya pula ia terus mengalirkan karya-karya tak pernah puas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button